Desember 2024 – “Nusantara”
SASTRA SEBAGAI MEDIA PERJUANGAN RAKYAT DI NUSANTARA
oleh : Moch Kamil Ranata
“Inilah senjata kita kaum revolusioner yang terutama sekali: Otak, Pena, dan Mulut. merupakan quotes dari seorang bapak Republik Indonesia Tan Malaka yang mengartikan bahwa pena seorang pejuang itu lebih tajam dari pada senjata api yang digunakan penjajah pada masa kolonial. Tidak dapat dipungkiri para kaum intelektual pada masa kolonial dianggap berbahaya karena dapat mengangkat semangat perjuangan semua rakyat di Indonesia tanpa memandang kelas, status, dan golongan sosial tertentu.
Sastra, seringkali menjadi wadah untuk menyampaikan ide-ide, nilai-nilai dan aspirasi sosial. Dalam konteks perjuangan sosial dan politik, sastra sangat berperan sebagai media yang ampuh untuk menggerakan rakyat, mengkritik ketidakadilan, dan menginisiasi perubahan. Banyak tokoh sastrawan yang melihat karya mereka sebagai senjata yang ampuh dalam melawan penindasan dan ketidakadilan. Mereka menggunakan bahasa dan imajinasi untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi kaum marjinal, mengungkap realitas sosial politik yang begitu keras, dan menggugah kesadaran rakyat akan perjuangan.
Antonio Gramsci berpendapat bahwa sastra dapat menjadi hagemoni dan membangun kesadaran kelas, karena masih banyak masyarakat yang tidak tahu menahu bagaimana ia memperjuangkan dirinya dan memperjuangkan sesamanya.
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) merupakan suatu lembaga yang memiliki nilai atau ideologi sastra realisme-sosialis, sebuah ideologi yang mengangkat kehidupan sosial masyarakat sebagai objek karya sastranya. Karya sastra haruslah mencerminkan mengambarkan dan melihat apa yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya sebagai bentuk perhatian dan keprihatinan atas apa yang terjadi pada lingkungan tempat penulis itu tinggal. Metode yang digunakan Lekra adalah turun kebawah bermaksud melihat dengan mata sendiri dan bertanya apa yang dialami oleh rakyat yang disebut kaum marjinal itu. Ini berarti bahwa sastra haruslah menyambung aspirasi rakyat pada penguasa. Visi Lekra adalah “Seni untuk rakyat dan politik untuk panglima” menekankan bahwa rakyat haruslah berani memperjuangkan hak-haknya melalui seni atau sastra. Tokoh Lekra yang terkenal adalah Pramoedya Ananta Toer seorang penulis dan sastrawan dengan karya sastranya yaitu tetralogi buru: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988).
Selain Pramoedya Ananta toer, banyak sastrawan yang memperjuangkan hak-hak rakyat yang ditindas akan ketidakadilan penguasa pada saat itu. Salah satunya seperti Chairil Anwar yang banyak memotivasi masyarakat agar terus berjuang dan mencapai kemerdekaan melalui karyanya, salah satu karya monumental (Chairil Anwar) adalah “Aku Ini Binatang Jalang” oleh Sapardi Djoko Damono dalam pusinya yang berjudul “Aku seperti telah merasuk kepada seluruh jiwa manusia”.
Dapat disimpulkan, karya sastra tidak hanya tentang unsur keindahannya (Dulce) saja tapi harus juga tentang unsur kebenmanfaatan nya (Urile) Dalam hal ini, karya sastra harus mewakili rakyat sekaligus menyuarakan ketidakadilan yang diterima rakyat kepada penguasa penguasa, karna perjuangan bukan hanya tentang perang senjata tapi perang intelektual melalui tulisan-tulisan untuk membangkitkan semangat perjuangan, seorang pejuang harus memiliki pikiran yang mapan
dan pikiran yang mapan tersebut harus menuntun kita menjadi seorang pejuang.